Dalam jangka waktu 17 tahun ke depan beban ekonomi Indonesia akan semakin berat.
Hal ini diungkapkan Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Initiatif (TIDI), Arya Sandhiyudha. Menurutnya, Indonesia akan masuk dalam masa-masa sulit resesi ekonomi, jika pemerintah tidak tepat dan cermat dalam mengantisipasi kondisi ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi 5 persen yang sudah berlangsung dalam lima tahun terakhir, dikhawatirkan akan membuat Indonesia masuk dalam perangkap Middle Income Trap.
“Kondisi ini akan semakin berat mengingat puncak bonus demografi Indonesia akan berakhir sekitar tahun 2036-2037, artinya jika dalam 16-17 tahun ke depan perekonomian Indonesia tidak mengalami perubahan, maka negara akan menanggung beban ekonomi yang semakin berat," kata Arya lewat keterangan tertulisnya, Sabtu, (28/9).
Arya menambahkan, perekonomian Indonesia akan memasuki masa-masa sulit karena tidak hanya winter is coming tetapi storm is coming. Dia mengaku khawatir dengan trend perlambatan ekonomi global dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini diindaksikan memperkuat terjadinya resesi ekonomi global.
“Terjadinya Trade War antara China dan AS, berdampak terhadap pelemahan permintaan terhadap barang-barang komoditas. Melemahnya ekonomi China yang hanya tumbuh 6,2 persen dalam periode April-Juni (kuartal II), terendah dalam 30 tahun terakhir. Kondisi ini diprediksi akan merembet ke Indonesia,” paparnya.
Arya menilai, perlambatan ekonomi Indonesia juga sudah mulai terasa. Penerimaan negara hingga akhir Agustus lalu masih terlihat lesu. Data dari Kementerian Keuangan mencatat, penerimaan negara hanya mencapai Rp 1.189,3 triliun atau tumbuh 3,2% dibandingkan periode sama tahun lalu (yoy).
"Potensi terjadinya shortfall penerimaan pajak akan mencapai Rp 140,03 triliun. Sehingga target Tax Ratio tahun 2019 sebesar 11,2 persen tidak akan tercapai. Konsekuensinya defisit akan lebih besar dari 1,93% PDB (outlook 2019)," jelasnya.
Lebih lanjut Arya mengatakan, total utang pemerintah terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tercatat utang Pemerintah per Juli 2019 sebesar US$ 395,3 miliar atau setara Rp 5.534 triliun (kurs Rp 14.000 per dollar). Dibandingkan Juli 2018, tercatat mengalami kenaikan Rp 346,28 triliun.
Sedangkan jika dibandingkan bulan sebelumnya mengalami kenaikan Rp 33,45 triliun dari posisi Rp 4.570,17 triliun. Rasio utang terhadap PDB sudah mencapai angka 36,2 persen. Dan ini sudah menjadi ambang batas psikologis utang negara" pungkas Arya. 0 rmo