Rencana Kebijakan Umum Anggaran Prioritas Plafon Anggaran (KUA-PPAS) 2020 DKI Jakarta yang menuai sorotan publik, ternyata merupakan cara Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjahili para buzzer pengkritik.
Mayoritas mereka adalah buzzer pendukung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan kerap dipanggil sebagai ahokers.
Sejumlah rencana anggaran disebut janggal dan dikritik, antara lain usulan pengadaan lem aibon senilai Rp 82 miliar di Suku Dinas Pendidikan Jakarta Barat dan usulan anggaran pengadaan ballpoint sebesar Rp 124 miliar di Suku Dinas Pendidikan Wilayah I Jakarta Timur.
Ada juga usulan 7.313 unit komputer dengan harga Rp 121 miliar di Dinas Pendidikan, dan beberapa unit server dan storage senilai Rp 66 miliar di Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik.
Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie Massardi mengaku paham dengan keributan-keributan yang terjadi di DKI Jakarta mengenai usulan anggaran tersebut. Menurutnya, itu merupakan cara Anies Baswedan menjahili ahokers.
“Saat mereka ribut APBD DKI, saya paham ini jahilnya Gubernur Anies godain ahokers,” terangnya dalam akun Twitter pribadi, Rabu (30/10).
Adhie kemudian menguraikan maksudnya itu. Kata dia, setelah ahokers ribut-ribut mengenai usulan anggaran, Anies kemudian membeberkan substansi masalah yang terjadi. Di mana kesalahan terjadi lantaran ada kelemahan sistem pengadaan elektronik atau e-budgeting yang diterapkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada 2015.
“Puncaknya, gubernur DKI now (Anies) buka kedok ini kerjaan amburadul e-budget gubernur DKI old,” urainya.
Kejahilan serupa juga pernah dilakukan Anies saat ahokers ribut-ribur mengenai anggaran pohon buatan yang mencapai Rp 1,5 miliar.
“Ahokers nyinyir. Jebul yang beli gubernur DKI old. Hehehe,” sindir mantan jurubicara Presiden Abdurrahman Wahid itu.
Anies sendiri telah menguraikan bahwa sistem e-budgeting era Ahok memiliki kelemahan teknis. Kelemahan itu lantaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) DKI mau tak mau harus mengisi semua komponen penganggaran secara spesifik, sekalipun belum ada pembahasan dengan DPRD.
Masalah itu, mau tak mau harus membuat SKPD DKI mengisi anggaran secara detail, meski tidak betul-betul memiliki maksud mengusulkannya di APBD.
"Setiap tahun, staf itu banyak yang memasukkan, (misalnya) “yang penting, masuk angka (ajuan anggaran) Rp 100 juta dulu. Toh nanti yang penting dibahas”,” tegas mantan Mendikbud itu