DEBAT #IV Capres membuktikan Joko Widodo sama sekali enggak menguasai bidang Pertahanan-Keamanan, Hubungan Luar Negeri dan Ideologi-Pemerintahan.
Konsepnya mentah. Hampa. Kosong. Pemerintahan "Dilan" stressing pada pendidikan pancasila sejak playgroup. Fasis indoctrination style. Doktrin pertahananya salah. Dihalusinasi "Perkiraan Intelijen Strategic" 20 tahun Indonesia aman dari invasi.
Karena itu "Pemerintahan Dilan" fokus pada dimensi keamanan. Polisi dapat porsi. Anggaran militer 0.8% dari GDP. Jauh di bawah Oman (13%), Arab Saudi (9%), Israel (5%) dan Timor Leste (2.5%).
Jokowi merilis konsep absurd tentang "pemerintahan cepat" sebagai pengganti teori "negara kuat menguasai negara lemah".
Jokowi hendak membangun distingsi dirinya dengan Pa Prabowo yang mengutip adagium Thucydides; "The strong do what they will, the weak suffer what they must.”
Doktrin 20 tahun aman ini berbeda dengan persepsi strategic Singapore.
Menurut Brian Harding dari Center for Strategic & International Studies' Southeast Asia Program, "Singapore know that they need to be prepared for the future and not just hope for the best."
Limitasi Singapore dikompensasi high end military weaponary, first class jet fighters & submarines, dan deployment personel militer. Squadron tempur Singapore ada di Amerika, Australia, Brunei, New Zealand, Taiwan dan lain-lain.
"These assets could therefore be mobilized as a follow-on force, possibly reinforced by friendly partners," kata Brian Harding.
Jadi jangan coba-coba serbu City-state Singapore. Jet-jet tempurnya bisa datang dari semua penjuru mata angin.
Pasca Pak Harto lengser, Indonesia mengambil langkah reformasi TNI. Pasca "The Third Indochina War 1979", Comrade Deng Xiao Ping juga mereformasi PLA.
Bedanya; Kaum Reformasi Indonesia membonsai kemampuan tempur TNI. Sedangkan Reformist Deng Xiao Ping memodernisasi PLA.
Dari 1950-1970an, China mengadopsi doktrin militer "People's War" karya Mao Zedong. Deng Xiao Ping memodifikasi doktrin itu menjadi "people's war under modern conditions."
Tahun 1980an, China mulai mengembangkan "second-strike capability" i.e. Serangan Nuklir.
Kemudian China membangun "military-industrial complex" yang menjadi nomor tiga terbesar di dunia.
Mereka memproduksi senjata, amunisi, combat aircraft, fast-attack crafts, frigate, destroyer, kapal selam nuklir, piranti elektronik, tactical missiles, dan ballistic missiles. Jokowi pamer 19 titik radar udara dan 11 titik radar maritim untuk menjaga 17 ribu pulau.
Jokowi enggak tau kalau radar tidak berguna saat Israel menggelar Operation Thunderbolt tahun 1976. Pesawat Israel terbang rendah 100 ft di atas Red Sea.
Di tahun 1987, China enggak bicara soal radar-radaran. Mereka bangun military forces yang sanggup menggelar modern combined-arms warfare.
"Pemerintahan Dilan" titik nadir kemunduran kekuatan tempur TNI. Jokowi mengira soft diplomacy dan diplomasi "senyam-senyum" adalah solusi kompensasi lemahnya TNI.
Diplomasi planga-plongo ngga punya tempat di hadapan Gunboat diplomacy dan Nuclear diplomacy.
Cebong Jokower yang menertawakan lemahnya pertahanan Indonesia terilusi ranking Global Firepower index.
Militer Indonesia diposisikan di ranking 14 di atas negara berkekuatan nuklir seperti North Korea dan Israel.
Ranking 14 GFP, imaginary allies dan jumlah populasi sipil enggak berguna dalam perang sungguhan. Faktor real alliances, teknologi, military hardware, politik, industri, uang, uang, uang dan uang adalah faktor decisive yang menentukan pemenang perang.
Di masalah "penguasaan" obyek strategis seperti bandara dan pelabuhan, Jokowi lebih ironis.
Dia melihat penguasaan operasi pihak asing di atas wilayah Indonesia dengan enteng. Tidak terganggu. Tanda Jokowi ngga tau apa-apa.
Comrade Mao Zedong membubarkan Sino-Soviet friendship setelah Nikita Khrushchev mengusulkan joint operation on naval base di China dalam rangka Perang Korea. Alasan Mao Zedong, itu sama saja Uni Soviet melanggar kedaulatan People's Republic of China.
Mao Zedong marah besar. Dia kirim pasukan ke Korea dan bertempur sendiri menghadapi Amerika dan South Korea.
Masalah pertahanan, keamanan, diplomasi dan Indonesia's sovereignty adalah penting. Entah apa jadinya bila Jokowi dua periode. Sudah benar, Pak Prabowo President.