
Mantan Kepala Biro Keuangan PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP), Jarot Basuki, menyatakan bahwa Negotiable Certificate of Deposit (NCD) yang diduga palsu dan diterima dari Executive Chairman MNC Group, Hary Tanoesoedibjo, beserta perusahaannya yang sebelumnya bernama PT Bhakti Investama Tbk, tidak dapat dicairkan.
Jarot dihadirkan sebagai saksi pihak penggugat, yaitu PT CMNP, dalam perkara perdata dugaan perbuatan melawan hukum terkait dokumen NCD yang diduga palsu tersebut.
Jarot menjelaskan, pada Mei 1999 dirinya bersama staf ditugaskan mewakili PT CMNP atas perintah Tito Sulistio, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Keuangan PT CMNP, untuk melakukan pertukaran surat berharga. Pihak Hary Tanoe diwakili oleh orang kepercayaannya.
Skema pertukaran surat berharga tersebut melibatkan Medium Term Note (MTN) dan Obligasi Tahap II milik CMNP senilai masing-masing Rp163,5 miliar dan Rp189 miliar. Sebagai imbal balik, pihak Hary Tanoe menyerahkan NCD yang diterbitkan Unibank senilai USD 28 juta. Dokumen tersebut diserahkan secara bertahap, yakni USD 10 juta jatuh tempo 9 Mei 2002 diserahkan pada 27 Mei 1999, dan USD 18 juta jatuh tempo 10 Mei 2002 diserahkan pada 28 Mei 1999
Namun setelah pertukaran, NCD tersebut tidak dapat dicairkan. Sementara itu, obligasi milik CMNP yang diserahkan kepada pihak Hary Tanoe telah dilunasi.
"Tadi kan Saksi juga menjelaskan bahwa Saksi ada menyerahkan obligasi CMNP kepada Saudara Harry Tanoe, setahu Saksi, obligasi itu sudah dilunasi atau belum?" tanya salah satu tim kuasa hukum PT CMNP dari Law Firm Lucas, S.H. & Partners kepada Jarot dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (22/10/2025).
"Karena obligasi ada jatuh temponya. Sepengetahuan saya sudah selesai, sudah dibayar," jawab Jarot.
"Sebaliknya, kalau NCD yang tadi saksi terima, itu sepengetahuan saksi, apakah sudah bisa dicairkan atau tidak?" tanya kuasa hukum CMNP.
"Sampai dengan saya pensiun (1998–2008), keluar dari CMNP, sepengetahuan saya NCD belum bisa dicairkan," ucap Jarot.
Jarot mengaku pihak CMNP telah mencoba mencairkan NCD tersebut ke Unibank. Namun pencairan gagal pada 22 Agustus 2002 karena Unibank telah ditetapkan sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) sejak Oktober 2001.
"Lalu tadi saksi yang menerima NCD, lalu katanya tadi saksi juga yang menyimpan di brankas kantor. Nah setelah itu, apakah dari CMNP pernah melakukan verifikasi ke Unibank terkait NCD tersebut?" tanya Kuasa Hukum PT CMNP.
"Iya. Atas perintah direksi, kami diminta untuk melalui surat, melaksanakan verifikasi ke Unibank," jawab Jarot.
"Verifikasi waktu itu untuk apa, Saksi?" tanya kuasa hukum.
"Salah satunya, sudah ada indikasi bahwa akan ada beberapa bank yang akan BBKU. Sehingga, kurun waktu yang masih NCD itu hidup, kita laksanakan satu verifikasi kepada bank Unibank," jelas Jarot.
"Kalau sepengetahuan Saksi, waktu itu Unibank jadi BBKU atau tidak?" tanya kuasa hukum PT CMNP lagi.
"Iya, akhirnya Unibank menjadi BBKU," jawab Jarot.
Kemudian, kata Jarot, pihaknya sempat mengupayakan pencairan NCD ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), lembaga pemerintah yang dibentuk pada 1998 untuk menangani krisis perbankan pasca-krisis ekonomi 1997. Namun upaya itu juga gagal, termasuk pencairan melalui Bank Indonesia.
"Nah dari surat itu pengetahuan saksi apakah ada respons dari BPPN?" tanya kuasa hukum PT CMNP.
"Ya, meskipun terlambat BPPN merespon bahwa NCD tersebut tidak bisa dicairkan," jawab Jarot.
"Selain dari surat BPPN itu apakah saksi mengetahui ada juga surat dari Bank Indonesia kepada CMNP pada intinya menyatakan bahwa NCD itu tidak ada di laporan bulanan Bank Unibank sehingga tidak terdaftar di Bank Indonesia?" tanya kuasa hukum PT CMNP.
"Ya," ucap Jarot membenarkan.
Diketahui, Tergugat I dalam perkara ini adalah Executive Chairman MNC Group, Hary Tanoesoedibjo, bersama mantan Direktur Keuangan CMNP, Tito Sulistio, yang juga pernah menjabat sebagai Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI). Tergugat II adalah perusahaan MNC Group yang sebelumnya bernama PT Bhakti Investama Tbk.
Dalam gugatannya, kuasa hukum PT CMNP menyatakan bahwa NCD yang diberikan Hary Tanoe tidak sah dan diduga palsu sehingga tidak dapat dicairkan. Akibatnya, CMNP mengklaim mengalami kerugian materiil sekitar Rp103,46 triliun.
"Sehingga kerugian materiil yang dialami Penggugat (CMNP) sampai dengan tanggal 27 Februari 2025 adalah sebesar USD 6.313.753.178 atau ekuivalen dengan Rp103.463.504.904.086," ujar Primaditya di ruang sidang PN Jakarta Pusat, Rabu (13/8/2025).
Menurutnya, tindakan Hary Tanoe dan perusahaannya juga menimbulkan kerugian immateriil karena mencoreng reputasi serta nama baik CMNP di mata investor, publik, dan pemerintah. Nilainya ditaksir mencapai Rp16,38 triliun.
"Kerugian immateriil... yang tidak dapat dinilai secara materi, namun apabila ditaksir kerugiannya mencapai USD 1.000.000.000 atau ekuivalen dengan Rp16.387.000.000.000," ucap Primaditya.
CMNP juga mengajukan sita jaminan terhadap aset milik Hary Tanoe untuk menjamin pembayaran ganti rugi tersebut.
Kasus bermula pada 1999, ketika terjadi transaksi pertukaran surat berharga antara CMNP dan Hary Tanoe melalui Tito Sulistio. CMNP menyerahkan MTN dan Obligasi II senilai total Rp352,5 miliar, sementara Hary Tanoe menyerahkan NCD senilai USD 28 juta yang diterbitkan Unibank. Namun ketika CMNP mencoba mencairkan NCD itu pada 22 Agustus 2002, pencairan tidak dapat dilakukan karena Unibank telah menjadi BBKU sejak Oktober 2001.
Menurut CMNP, NCD tersebut diduga diterbitkan tidak sesuai prosedur dan dianggap palsu karena menggunakan mata uang dolar AS dengan jangka waktu lebih dari dua tahun, padahal ketentuan Bank Indonesia membatasi maksimal 24 bulan.
Di sisi lain, Direktur Legal MNC Asia Holding, Chris Taufik, menyebut gugatan CMNP salah sasaran dan menegaskan bahwa transaksi yang dipersoalkan tidak ada kaitannya dengan Hary Tanoe maupun MNC Asia Holding, karena Hary Tanoe hanya bertindak sebagai perantara.
sumber: inilah