Presiden Jokowi pada periode pemerintahan ke-1 & ke-2 sangat masif mendorong proyek jalan Tol Trans Jawa dan Tol Trans Sumatera. Bila di Trans Jawa dikerjakan oleh swasta dan BUMN karena secara investasi menguntungkan, beda dengan proyek jalan tol di Sumatera.
Secara kelayakan bisnis, Internal Rate of Return (IRR) proyek Tol Trans Sumatera rendah atau di bawah bunga perbankan. Sehingga tak menarik dan tak menguntungkan secara bisnis. Akhirnya, Jokowi menugaskan BUMN infrastruktur, yakni PT Hutama Karya (Persero) untuk membangun Tol Trans Sumatera sepanjang 2.046 km.
Sebagai langkah awal, pemerintah memberikan bantuan permodalan berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk membantu pembiayaan di Tol Trans Sumatera yang diproyeksi menelan biaya investasi Rp 475,96 triliun. Artinya, 60 persen pembiayaan proyek dari PMN dan modal Perseroan, sisanya disokong oleh pinjaman perbankan hingga penerbitan surat utang.
“Ya. Memang itu tidak layak secara finansial tetapi sangat membantu pertumbuhan perekonomian jalan yang dilewati. Makanya kita minta penyertaan modal negara,” ujar Bintang Perbowo dalam wawancara dengan kumparan Kamis (13/2/2020). Saat itu, Bintang masih menjabat sebagai Dirut Hutama Karya.
Hingga akhir 2020, Hutama Karya bersama kontraktor pendukung telah menyelesaikan pembangunan 1.156 km jalan Tol Trans Sumatera, sementara 643 km sedang dalam proses konstruksi. Karena proyek tak layak secara bisnis, keuangan Perseroan ikut terdampak.
Hutama Karya mencatatkan kerugian Rp 2,09 triliun sepanjang tahun buku 2020. Kinerja Hutama Karya ini menurun tajam dibandingkan tahun 2019 yang masih mencatatkan laba bersih Rp 1,99 triliun. Biaya keuangan akibat pembayaran beban bunga pinjaman juga melonjak 215 persen di 2020 menjadi Rp 2,55 triliun.
Tol Trans Sumatera Sempat Ditolak SBY
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebelum berakhirnya masa jabatan periode ke-2, disebutkan menolak campur tangan keuangan negara di proyek Tol Trans Sumatera. Suntikan PMN ke Hutama Karya ditolak DPR atas rekomendasi pemerintah. Dalam sebuah wawancara dengan Majalah Tempo pada Agustus 2014, Sekretaris Kabinet kala itu, Dipo Alam menolak pemberian PMN ke Hutama Karya untuk proyek tol di Pulau Sumatera. Dipo disebut ingin 'mengamankan' Presiden SBY dari masalah hukum.
"Pemerintah tak ada uang dan kami harus hati-hati," kata Dipo dalam wawancara di Majalah Tempo.
Dahlan Iskan, Menteri BUMN era SBY, juga membenarkan bila proyek Tol Trans Sumatera tidak menguntungkan secara bisnis, sehingga harus dicarikan solusi agar Pulau Sumatera tetap tersambung jalan tol.
"Tapi tak masalah. Yang penting ada solusinya," tutur Dahlan