Narko. Begitulah panggilan akrab teman-temannya. Lelaki Jawa kelahiran Medan 65 tahun lalu. Ia berperawakan sedang, agak gempal dan berkulit sawo matang. Ciri khasnya, berkumis hitam dan tebal.
Itulah sosok Soenarko, perwira komando, lulusan Akademi Militer (Akmil) 1978. Soenarko dari korps infanteri dan Erfi Triassunu dari korps zeni, sejak lulus pendidikan komando pada 1979, bersama-sama di Kopassandha (Komando Pasukan Sandi Yudha). Nama lain sebelum berganti menjadi Kopassus (Komando Pasukan Khusus).
Saat bintang dua (mayor jenderal), keduanya dipercaya menjadi panglima Kodam. Soenarko sebagai Pangdam Iskandar Muda. Erfi sebagai Pangdam Cendrawasih. Soenarko memang lebih banyak tugas operasi di Aceh. Sedangkan Erfi lebih banyak bertugas operasi di Papua.
Mereka bersama Budiman (zeni), Marciano Norman (kavaleri), Leonardus JP Siegers (artileri pertahanan udara), dan Andi Geerhan Lantara (infanteri) berhasil menjadi pangdam. Budiman sebagai Pangdam Diponegoro, Marciano menjadi Pangdam Jaya, Siegers selaku Pangdam Bukit Barisan, dan Geerhan menggapai Pangdam Tanjung Pura.
Budiman puncak kariernya sebagai KSAD, Norman menjadi Kepala BIN, Erfi selaku Wakil Kepala BIN, Geerhan sebagai Irjen Mabes TNI, Siegers menjadi Koorsahli Panglima TNI, dan Soenarko sebagai Komandan Pussenif.
Jabatan-jabatan Narko adalah mimpi atau keinginan dari para perwira komando. Sebab tidak semua perwira komando bisa menjadi Komandan Jenderal Kopassus. Begitu juga bagi para infanteris. Tentu semua berkeinginan menjadi Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri. Komandan Korps Infanteri.
Infanteri adalah korps induk militer. Sekitar 75-80 persen personel TNI AD adalah infanteri. Narko spesial, karena berhasil menjadi Komandan Jenderal Kopassus, Pangdam Iskandar Muda, serta Komandan Pussenif. Walau berhenti pada pangkat mayor jenderal, semua mengakui kemampuan tempur Narko.
Sekurangnya ia sembilan kali bolak balik ke medan tempur di Timor Timur, Papua, dan Aceh. Sikap nan tegap, waspada dan wibawa, melekat pada diri Soenarko sebagai prajurit komando yang berjiwa satria. Bagi nusa bangsa dan negara, ia pantang menyerah di medan laga.
Di bawah panji Merah Putih, di atas persada negeri. Para prajurit komando, berjanji demi Tuhan: rela binasa membela Ibu Pertiwi. Memuja Indonesia, mencintai Tanah Air. Sebagai warga baret merah jiwanya bergelora, lebih baik pulang nama daripada gagal di medan laga.
Namun, kini ia seperti dizalimi. Menghadapi mimpi buruk! Jenderal Narko ditetapkan sebagai tersangka makar! Ia disangka menyelundupkan senjata untuk memancing kerusuhan aksi protes terhadap hasil pemilu presiden 21-22 Mei 2019. Prajurit para komando (parako) itu kini harus mendekam di rumah tahanan Polisi Milter Kodam Jaya di Guntur, Jakarta Selatan.
Kasus ini tentu mengherankan bagaimana polisi bisa menetapkannya sebagai tersangka?
Semula pada 18 Mei 2019, Narko diminta hadir ke Markas Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI di Cilangkap. Dia menjadi saksi kasus dugaan kepemilikan senjata illegal. Namun ketika ia diperiksa sebagai saksi, muncul surat penangkapan dan penahanan dari Mabes Polri terhadap dirinya. Ironis!
Bagaimana sesungguhnya koordinasi pimpinan Mabes Polri dengan pimpinan Mabes TNI, sehingga bisa menetapkan seorang mantan Komandan Jenderal Kopassus dari saksi menjadi tersangka? Mengapa sedemikian mudah pimpinan TNI menyerahkan jenderal mantan komandan pasukan elite-nya kepada polisi untuk ditahan? Siapa berada di balik penetapan Jenderal Soenarko sebagai tersangka? Mengapa sampai berani menuduh salah satu putra terbaik TNI sebagai tersangka makar dan kepemilikan senjata illegal?
Sebegitu nistakah seorang Soenarko yang hidupnya didarmabaktikan untuk bangsa dan negaranya. Lalu berbuat konyol menyelundupkan sepucuk senjata? Pertanyaan-pertanyaan itu menggangu pikiran saya sebagai wartawan.
Saya tidak kenal Jenderal Soenarko. Jumpa pun belum pernah. Tetapi saya tidak bisa menerima informasi begitu saja, termasuk dari pemerintah, sekali pun. Ada sesuatu yang ‘janggal’ dalam konferensi pers yang dilakukan Menko Polhukam Jenderal (Purn) Wiranto, Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian, dan Kepala Staf Presiden Jenderal (Purn) Moeldoko, pada 21 Mei 2019 lalu.
Sebuah pernyataan yang harus ditelusuri, kerena menyangkut nama baik seseorang bahkan Korps TNI dan Kopassus. Bagi saya terlalu prematur untuk menyebut seorang jenderal Kopassus dengan dugaan melakukan makar dengan alasan penyelundupan satu pucuk senjata api.
Strategi media
Sebagai praktisi media yang mempelajari ilmu komunikasi, saya paham bagaimana strategi media mengonstruksi berita, sehingga tertanam di benak publik. Guru besar ilmu komunikasi Universitas Indonesia, Profesor Dr Ibnu Hamad, membagi strategi media menjadi tiga, yakni: priming, framing, dan signing.
Priming berkaitan dengan waktu pemberitaan, kapan berita itu ditayangkan kepada publik. Framing atau pembingkaian, menonjolkan aspek pemberitaan tertentu yang dianggap mewakili kepentingan institusi media. Terakhir, signing. Sebuah tanda dalam pemberitaan, sehingga berita tepat sasaran dan publik mengingatnya.
Melalui tiga strategi tersebut, sekecil apa pun beritanya dapat menghabisi seseorang. Bahkan seorang pahlawan pun bisa dijungkirbalikkan sebagai pengkhianat negara. Kemudian masyarakat yang menelan mentah-mentah berita tersebut dipaksa membenarkan atau meng-amini berita tersebut.
Label yang dilemparkan media ke tengah publik itu dianggap sebuah kebenaran sempurna. Tanpa ada yang mengklarifikasi, mengonfirmasi dan memverifikasi data dan fakta yang sudah terlanjur dikonsumsi publik.
Itulah kelakuan buruk media yang berselingkuh dengan bisnis dan kekuasaan. Hak publik dinistakan. Tak peduli hak-hak seorang Jenderal Soenarko, sekali pun. Seperti kata rekan saya, Doktor Dudi Iskandar,
“Abang masih percaya dengan media mainstream? Berkoar-koar demi hak asasi manusia (HAM) di satu sisi, namun melakukan pelanggaran HAM publik pada sisi berlawanan.” Ia sedang menyindir kasus yang menerpa Soenarko.
Pantas saja jika mantan Kasum TNI Letjen (Purn) Johanes Suryo Prabowo (Akmil 1976), mantan Sesmenko Polhukam Letjen (Purn) Yayat Sudrajat (Akmil 1982), dan mantan Kepala Bais TNI Mayjen (Purn) Zaky Anwar Makarim (Akmil 1971) yang duduk di meja konferensi pers pada 31 Mei 2019 lalu, berang terhadap awak media yang cenderung menjadi humas pemerintah. “Kalian jahat terhadap kami, purnawirawan!”
Sahabat Soenarko, yakni Erfi Triassunu juga geram atas perlakuan terhadap rekannya sesama lulusan Akmil 1978 dan sama-sama lulusan pendidikan komando. Mereka menuding telah terjadi pengadilan oleh pers terhadap Jenderal Soenarko.
Trial by the Press. Peradilan dengan menggunakan media yang bersifat publikasi massa dengan tidak membeberkan keseluruhan fakta yang ada. Beritanya menjadi tidak berimbang, sehingga tokoh yang diberitakan tidak diberikan pembelaan. Tanpa hak jawab dari versinya.
Teman-teman Soenarko yang umumnya berasal dari Kopassus melakukan pembelaan sebagai harga diri korps. Termasuk di antaranya mantan Komandan Jenderal Kopassus, Letjen (Purn) Agus Sutomo (Akmil 1984).
Kolonel Infanteri (Purn) Sri Radjasa Chandra mantan staf intelijen Kodam Iskandar Muda, saat Soenarko sebagai pangdam, menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya tentang senjata yang dituduhkan Menko Polhukam Wiranto dkk tersebut.
Tuduhan Polri yang merilis sengketa senjata api illegal jenis M4 Carbine milik Soenarko yang dikirim dari Aceh, 21 Mei 2019 lalu, dinilainya sangat bertolak belakang dengan faktanya. Yang benar adalah senjata yang dikumpulkan dari bekas kombatan GAM, yakni jenis M16 A1.
“Saya kaget dan tidak menyangka adanya kebohongan publik dan pemelintiran opini ke arah sana,” ujar Sri Radjasa.
Pantas pula jika Menteri Pertahanan Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu marah, karena purnawirawan jenderal disebut makar dan kini ditahan. Ia tidak setuju dengan langkah Wiranto dkk.
Bagi Ryamizard, Mayjen (Purn) Kivlan Zen maupun Soenarko adalah putra terbaik bangsa Indonesia yang telah memperjuangkan keutuhan negara. “Tidak ada niat mereka mau kudeta atau pun makar. Mereka adalah pejuang sejati,” kata Ryamizard.
Menurut Suryo Prabowo, pengalaman tempur Soenarko di daerah operasi tidak sebanding dengan Wiranto. Tidak layak Wiranto dkk memperlakukan Soenarko seperti itu.
Inilah era post-media, era post-journalisme. Bukan lagi pers, namun publik yang kini harus mengklarifikasi, mengonfirmasi dan memverifikasi data dan fakta dari pers. Dunia sudah terbalik-balik. (*)