Notifikasi pesan berantai belasan grup WhatsApp pendukung akar rumput Prabowo Subianto - Sandiaga Uno tidak henti berbunyi pada pekan ini. Sejumlah anggota di dalamnya masih aktif mendiskusikan topik terhangat.
Mulai dari kesalahan input data Situng KPU, kematian ratusan anggota KPPS, hingga perkembangan perolehan suara.
Topik lain yang dibicarakan mereka adalah rencana 'people power'. Konten berisi ajakan untuk turun ke jalan pun begitu masif disebar ke grup-grup WhatsApp. Tidak diketahui pasti siapa pembuat pertama pesan tersebut.
"Jangan pernah samakan aksi kami sekarang ini dengan semua aksi-aksi damai sebelumnya, karena kami siap korbankan jiwa raga bahkan nyawa," demikian salah satu penggalan pesan tersebut.
Rencana 'people power' sendiri pertama kali digaungkan politikus gaek Amien Rais. Dia mengatakan jika Prabowo kalah, pihaknya tidak akan menggugat ke Mahkamah Konstitusi- namun gerakan sosial bakal jadi jalan yang ditempuh.
Mengapa Prabowo cs ingin melakukan itu? Bisa jadi karena calon presiden 02 itu tak lagi memiliki daya politik besar untuk mengejar impian terbesarnya.
Saya kira, teori Ketegangan Sosial milik Neil Smelser bisa digunakan untuk membedah apa yang sebenarnya dipikirkan kubu Prabowo dan 'gerakan sosial'.
Ada enam tahapan yang harus dilalui menurut Smelser. Tahapan itu antara lain kekondusifan struktural, ketegangan struktural, penciptaan keyakinan, faktor pemicu, mobilisasi aksi, hingga kontrol sosial.
Tahapan pertama adalah kondisi yang dapat menimbulkan suatu perilaku kolektif, misalnya Prabowo yang meyakini bahwa dirinya memenangkan Pilpres kali ini.
Narasi lainnya juga adalah soal kecurangan yang dapat menghalangi kemenangan pasangan 02 tersebut.
"Kami punya keyakinan Insya Allah yang mengalahkan Pak Prabowo hanya kecurangan," tutur juru bicara Badan Pemenangan Nasional Andre Rosiade di Hotel Century Park, pada akhir Maret lalu.
Saya kira, petikan kalimat itu minimal dapat meningkatkan keyakinan pendukung fanatik Prabowo yang jumlahnya tidak sedikit.
Tahapan kedua, adalah ketegangan struktural.
Dalam hal ini, Prabowo dan timses berupaya menampilkan suatu kondisi yang diduga tidak adil secara terus - menerus. Hal itu bertujuan agar pendukungnya yakin ada suatu kecurangan atau ketidakadilan, sehingga pilpres tidak berjalan sesuai harapan.
Caranya, Timses rajin mengumumkan fakta-fakta kejanggalan baik sebelum Pilpres maupun sesudahnya.
Contohnya adalah kasus jelang pemungutan suara, ketika eks Kapolsek Pasirwangi Kabupaten Garut, Jawa Barat, AKP Sulman Aziz mengaku diperintahkan untuk menggalang dukungan warga untuk memilih Jokowi - Ma'ruf.
Saya memperhatikan berita itu disebarluaskan di media sosial. Plus, ada pernyataan yang dapat memupuk keyakinan bahwa aparat saat ini sudah tidak netral.
Selain itu, ada pula soal dugaan kesalahan input data C1 ke Sistem Informasi Penghitungan (Situng) KPU-yang dianggap sebagai kecurangan.
Tahapan selanjutnya, masih menurut Smelser, adalah menciptakan asumsi kolektif. Wacana yang terus digaungkan adalah aparat dan penyelenggara pemilu tidak netral, serta lawan berlaku curang-memunculkan ketegangan di tingkat bawah.
Gerakan Sosial
Saya kira, apa yang dilakukan Prabowo dan kelompoknya bisa dibilang sesuai dengan konsep framing yang diutarakan R.D. Benford & D.A. Snow dalam Framing Process and Social Movements: an Overview and Assessment (2000).
Ada tiga peran 'framing' dalam proses menciptakan gerakan sosial.
Pertama adalah diagnostic framing, atau menentukan siapa yang mesti disalahkan. Salah satu model diagnosis masalah yang mujarab adalah menggunakan kata 'ketidakadilan'. Namun kubu Prabowo menggunakan diksi 'kecurangan'.
Mereka menerbitkan isu bahwa masalah dalam pilpres kali ini adalah kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, masif, dan brutal. Hal ini dilontarkan pertama kali ditegaskan Koordinator Juru Bicara BPN Dahnil Anzar Simanjuntak.
Kemudian sumber masalah yang didiagnosa adalah paslon 01, selaku petahana yang mampu 'mengendalikan' aparat. Sedangkan pihak lain yang juga dituding sebagai sumber masalah adalah penyelenggara Pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Kedua, prognostic framing atau menyampaikan strategi dan tindakan alternatif yang mesti dilakukan. Kubu Prabowo menyodorkan kepada pendukungnya sekaligus berencana melakukan 'people power'.
Namun, rencana itu tampaknya tidak akan dilakukan andai Bawaslu mendiskualifikasi Jokowi - Ma'ruf sebagai pesert Pilpres 2019. Pembingkaian informasi perlunya KPU maupun Bawaslu mendiskualifikasi lawan Prabowo itu diorbitkan oleh Ijtima Ulama III, forum yang diisi oleh sejumlah ulama pendukung calon presiden 02 itu.
Ketiga, motivational framing atau mendorong banyak orang untuk bergerak bersama. Dan wacana itu pun tidak lagi berkutat di tingkat elit, tetapi sudah menjamah akar rumput.
Ini macam pesan melalui WhatsApp yang sudah banyak beredar untuk turun ke jalan.
Namun saya kira, ada tahapan keempat dari teori nilai tambah Smelser yang belum dilakukan oleh kubu Prabowo-peristiwa yang memantik gerakan massa. Momen penghitungan akhir KPU pada 22 Mei kelak, barangkali dapat memicu hal tersebut.
Saya memperkirakan mobilisasi massa terjadi-seperti yang disampaikan oleh Smelser-walaupun tak diketahui seberapa besar.
Namun, Smelser juga menyatakan ada tahapan kontrol sosial guna menghadapi gerakan massa tersebut. Yang tampak, saya kira, ancaman yang mencuat terhadap sumber daya yang dianggap dapat melakukan mobilisasi massa.
Contohnya, ketika Kapolri Jenderal Tito Karnavian menegaskan bakal menggunakan pasal makar terhadap pihak yang memulai 'people power'.
Menkopolhukam Wiranto pun udah menunjukkan gelagat serupa. Dia mengatakan kementerian itu membentuk tim hukum nasional untuk merespons ucapan dan tindakan tokoh yang bernuansa provokatif.
Mungkin, semua orang harap-harap cemas apa yang bakal terjadi pada 22 Mei mendatang. Namun yang jelas, notifikasi pesan berantai WhatsApp terus berdenting hingga kini.
"Insya Allah syahid bagi kami membela Al Haq dan membela Islam yang selama ini kalian intimidasi dan dzolimi. Urat takut kami sudah tiada, darah pun siap kami korbankan." 0 cnn