Temuan penggunaan anggaran untuk aktivitas digital yang mencapai Rp 1,29 triliun di rezim Presiden Joko Widodo perlahan membuka sebab musabab kekacauan data yang selama ini dipaparkan pemerintah.
Begitu kata Direktur Ekskutif Oversight of Indonesia's Democratic Policy, Satyo Purwanto yang menyinggung banyaknya data pemerintah yang tidak relevan belakangan ini.
Satyo mencontohkan kekacauan tersebut terjadi ketika awal mula kemunculan virus corona di beberapa negara seperti China, Jepang, dan Korea Selatan. Di saat negara-negara lain mengantisipasi serangan Covid-19, Indonesia malah lebih mengutamakan sektor pariwisata.
"Jadi teringat sekira bulan Februari 2020, pemerintah Jokowi justru meningkatkan promosi untuk wisatawan yang mencari alternatif destinasi karena pembatalan kunjungan ke negara-negara yang terkontaminasi Covid-19 saat itu," ujar Satyo Purwanto, dilansir Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (21/8).
Padahal kata Satyo, di masa Pandemik Covid-19 justru banyak negara yang melakukan penutupan lalu lintas dan perjalanan manusia.
"Pemerintah Indonesia justru menggelontorkan anggaran sebesar Rp 103 miliar untuk promosi wisata, Rp 25 miliar untuk mengembangkan destinasi pariwisata, dan Rp 72 miliar untuk influencer. Pantas saja pemerintah seallu memiliki data yang tidak relevan dengan kenyataan," kata Satyo.
Contoh lain yang ia paparkan adalah mengenai bantuan sosial. Sampai saat ini, bansos untuk penanganan pandemik diakuinya masih semrawut hingga mengakibatkan lambannya bansos terserap ke masyarakat. Dampaknya, kata dia, daya beli masyarakat makin terpuruk.
Satyo pun menyinggung penelitian bertajuk 'The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation' oleh Samantha Bradshaw dan Philip Howard dari Universitas Oxford (2019).
Penelitian tersebut kata Satyo, setidaknya mengungkapkan bahwa pemerintah dan partai-partai politik di Indonesia menggunakan buzzer atau influencer untuk menyebarkan propaganda pro pemerintah atau partai, menyerang lawan politik dan menyebarkan informasi untuk memecah-belah masyarakat.
"Tentunya kita masih ingat kasus Denny Siregar atau ketika pemerintah menggunakan jasa artis untuk menjustifikasi omnibus law, menggunakan jasa influencer atau buzzer untuk propaganda politik, lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya," tandasnya.0