Ketua Ombudsman perwakilan DKI Jakarta, Teguh Nugroho menyebut pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi bisa saja diperpanjang jika pengawasan ketat terhadap protokol kesehatan terlaksana dengan baik. Namun, jika pengawasan dan kontrol tidak maksimal, PSBB secara ketat patut dipertimbangkan.
"Pilihannya ada dua, pertama tetap PSBB transisi tapi dikuatkan di pengawasan dan penindakan sekaligus penguatan regulasi sanksi. Jika tidak bisa, maka pilihan terbaik kembali ke PSBB dengan ketat selama beberapa waktu sampai dipastikan angka transmisi Covid di Jakarta melandai," ujar Teguh, Sabtu (7/8).
Teguh menilai, selama ini kesadaran masyarakat terhadap protokol kesehatan masa sangat rendah. Oleh karena itu, Teguh menyarankan sanksi terhadap pelanggar PSBB transisi seharusnya diatur dalam Peraturan Daerah (Perda). Sebab Pergub tidak mengatur tentang sanksi.
Selain itu, imbuhnya, sanksi terhadap sektor industri yang memiliki Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI) akan sulit diberikan jika landasan hukumnya hanya berdasarkan Pergub. Sementara, IOMKI diberikan oleh Kementerian Perindustrian, yang mana menurut Teguh derajat keduanya sama.
Teguh menambahkan, agar PSBB transisi berjalan maksimal, Pemprov perlu menambah personel untuk pengawasan dan kontrol penerapan protokol kesehatan oleh warga. Bisa saja, kata Teguh, Pemprov menggandeng aparat penegak hukum seperti Polri.
"Jumlah personel untuk melakukan pengawasan dan penindakan harus mencukupi sebagai perbantuan bagi pengawasan terhadap masyarakat, instansi pemerintah, BUMN dan BUMD juga perusahaan swasta. Hal ini termasuk pengawasan dan penindakan perusahaan yang mendapat izin IOMKI dari kemenperin yang sulit ditindak dengan Pergub karena posisinya sama dengan dengan Permenperin, berbeda kalau ditindak dengan Perda yang posisinya lebih kuat," tandasnya.
Diketahui bahwa laporan kasus positif Covid-19 di DKI Jakarta setiap harinya selalu bertambah dan melebihi 100 kasus. Pada Jumat (6/8) konfirmasi positif Covid-19 di ibu kota bertambah 658 kasus. Sehingga akumulasi kasus sebanyak 24.521.
"Penambahan kasus positif pada hari ini sebanyak 658 kasus. Adapun jumlah kasus aktif di Jakarta saat ini sebanyak 8.398 kasus (orang yang masih dirawat masih diisolasi)," ujar Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Weningtyas Purnomorini.
Dari jumlah akumulasi tersebut dilaporkan pula orang yang sembuh dari infeksi virus Corona sebanyak 15.201 orang dinyatakan telah sembuh, sedangkan 922 orang meninggal dunia.
Weningtyas menambahkan, untuk positivity rate atau persentase kasus positif sepekan terakhir di Jakarta sebesar 7,2 persen sedangkan Indonesia sebesar 15,1 persen. WHO juga menetapkan standar persentase kasus positif tidak lebih dari 5 persen.
Namun, imbuh Weningtyas, persentase kasus positif ini hanya bisa dianggap valid bila standar jumlah tes yang dilakukan telah terpenuhi. Bila jumlah tesnya sedikit (tidak memenuhi standar WHO), maka indikator persentase kasus positif patut diragukan.
Ia menjelaskan, WHO telah menetapkan standar jumlah tes PCR adalah 1.000 orang per 1 juta penduduk per minggu. Berdasarkan WHO, Jakarta harus melakukan pemeriksaan PCR minimum pada 10.645 orang (bukan spesimen) per minggu, atau 1.521 orang per hari. "Saat ini jumlah tes PCR di Jakarta setiap pekan adalah 4 kali lipat standar WHO," imbuhnya.
Tes PCR di Jakarta dilakukan melalui kolaborasi 54 Laboratorium Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, BUMN, dan swasta. Pemprov DKI Jakarta memberikan dukungan biaya tes kepada Laboratorium BUMN dan swasta yang ikut berjejaring bersama dalam pemeriksaan sampel program.
Sementara itu, telah dilakukan tes PCR sebanyak 7.069 spesimen pada hari ini.
"6.061 di antaranya untuk mendiagnosis kasus baru dengan hasil 658 positif dan 5.403 negatif. Dari 658 kasus positif tersebut, 98 adalah akumulasi data dari hari sebelumnya yang baru dilaporkan. Untuk jumlah tes PCR total per 1 juta penduduk sebanyak 41.914. Jumlah orang yang dites PCR sepekan terakhir sebanyak 43.330," terangnya.