Image description
Image captions

Kasus sengketa lahan yang menyeret nama mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla (JK), di kawasan GMTD, Makassar, membuka tabir gelap praktik mafia tanah di Indonesia.

Publik di linimasa ikut bereaksi. Banyak yang bertanya-tanya, jika sekelas mantan wapres saja bisa menjadi korban, bagaimana nasib rakyat kecil yang tak punya kekuatan hukum untuk melawan?

"Untung yang kena masalah sekelas Jusuf Kalla, coba kalau rakyat kecil pasti sudah dicaplok GMTD," tulis akun dekiwit1 di kolom komentar TikTok Inilah.com, Kamis (6/11/2025). "Sekelas Yusuf Kalla aja bisa diotak-atik, gimana dengan rakyat kecil? Miris," balas akun Bewok di unggahan yang sama berjudul “JK Marah Besar! Tuding GMTD Rekayasa Kasus Tanah 16,4 Hektar.” yang sudah ditonton 1,3 juta orang.

Kasus ini berawal dari klaim kepemilikan lahan seluas 16,4 hektare di kawasan Metro Tanjung Bunga, Makassar. Jusuf Kalla geram karena menduga ada rekayasa sertifikat yang melibatkan pihak pengembang PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD), anak usaha yang terafiliasi dengan Lippo Group.

Pakar Hukum Pidana Universitas Bung Karno, Hudi Yusuf, menilai praktik seperti ini menunjukkan betapa mafia tanah tak mengenal batas status sosial.

“Mafia tanah tidak melihat besar kecilnya orang, siapapun jika telah tidak berkuasa pasti akan diambil, namun orang sekelas JK saja diperlakukan seperti ini apalagi rakyat kecil,” kata Hudi seperti dilansir Inilah.com, Kamis (6/11/2025).

Sementara itu, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menegaskan bahwa kasus tersebut termasuk tindak pidana, bukan sekadar sengketa perdata.

“Ya itu jelas pidana, penyerobotan tanah menguasai tanah orang lain tanpa hak. Jika pihak penyerobot mempunyai bukti hak apakah berupa girik atau sertifikat maka itu bergeser menjadi perdata,” kata Fickar.

Ia menjelaskan, modus mafia tanah kerap melibatkan aparat pertanahan dalam penerbitan sertifikat ganda.

“Ya, bisa beberapa modus, antara lain dengan membuat sertifikat palsu. Dan jika ini yang terjadi maka dipastikan ada aparat pertanahan yang terlibat. Karena di setiap sertifikat (termasuk tanah Pak JK) pasti ada GS (gambar situasi). Ini artinya di tanah tersebut pernah dilakukan pengukuran oleh aparat agraria. Karena itu menjadi aneh jika di tanah yang sama juga terbit sertifikat lain, itu artinya ada pemalsuan sekaligus penyalahgunaan wewenang,” ujarnya.

Menurut Fickar, akar persoalan mafia tanah terletak pada birokrasi pengurusan sertifikat yang rumit.

“Masalah pokoknya birokrasi pengurusan sertifikat yang rumit, sehingga memungkinkan mereka yang punya akses — baik materi maupun hubungan dengan birokrasi — yang menguasai lahan, tempat, dan aset tertentu,” katanya.

Ia menilai ketimpangan itu membuat masyarakat kecil semakin rentan.

“Sangat mungkin ya karena faktor yang saya sebut di poin 3, penguasaan sumber daya yang lebih besar sehingga bisa mendominasi bahkan merebut aset orang lain,” ujarnya.

Fickar juga menilai tanah-tanah yang belum bersertifikat menjadi lahan subur bagi manipulasi mafia tanah.

Dalam konteks yang lebih luas, sejumlah bisnis besar yang terafiliasi dengan Lippo Group juga pernah terseret polemik serupa. Di Jakarta Selatan, konflik lahan di kawasan Kemang pada April 2025 sempat berujung bentrokan dengan laras panjang walau dalih aparat penegak hukum itu senapan angin. Lippo Group mengklaim sebagai pemilik sah tanah tersebut melalui PT Satriamandiri Idola Utama, dengan dasar sertifikat hak milik sejak 2014. Namun, pihak lain disebut berupaya merebut lahan itu hingga memicu insiden di lapangan.

Kasus lain juga muncul dalam penanganan aset eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Lippo Karawaci, Tangerang. Pada 2021, Satgas BLBI bersama Kementerian Keuangan mengambil alih penguasaan fisik atas aset seluas 25 hektare senilai Rp1,33 triliun. Dokumen kepemilikan menunjukkan aset itu telah menjadi milik negara sejak dialihkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Penguasaan dilakukan karena sebagian aset sempat dimanfaatkan pihak ketiga tanpa izin pemerintah.

Hudi menilai pola yang berulang ini memperlihatkan lemahnya sistem pengawasan negara terhadap tata kelola lahan.

“Kita sudah sering dengar korporasi banyak terlibat dalam kasus mafia tanah karena itu pemerintah harus tertib administrasi dan birokratnya harus jujur tidak bermain di lapangan,” katanya.

Ia menambahkan, proyek-proyek besar seperti Meikarta juga tak lepas dari masalah serupa.

“Betul hal itu patut diduga demikian karena banyak rakyat kecil yang mengaku belum dibayar dan selain itu para pembelinya juga banyak yang melakukan permintaan uang kembali,” ujarnya.

Menurut Hudi, pemerintah harus menjadi penegak aturan yang tidak bisa dibeli oleh pengusaha besar.

“Pemerintah harus tertib di segala lini dan pemerintah tidak boleh terbeli (untouchable) oleh pengusaha hitam sehingga administrasi tanah dapat dirawat dengan tertib,” tegasnya.

Kasus yang menimpa Jusuf Kalla menjadi alarm keras bahwa mafia tanah masih beroperasi di berbagai level — dari lapisan bawah hingga korporasi besar. Jika hukum tak berpihak pada kebenaran, rakyat akan selalu kalah di tanahnya sendiri.