Anggota DPRD DKI Jakarta Farah Savira memberikan catatan kritisnya usai Penjabat (Pj) Gubernur Jakarta Teguh Setyabudi menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian di lingkungan Pemprov DKI berpoligami atau beristri lebih dari satu.
Farah menilai, regulasi yang keluar pada awal 2025 itu terkesan diskrimintif dan sangat tidak manusiawi, karena pada praktiknya menunjukan sikap inferioritas dan juga superioritas antara laki laki dan perempuan.
Padahal, pernikahan merupakan institusi yang harus didasarkan pada nilai-nilai saling mendukung dan menghormati, terutama dalam situasi sulit.
"Aturan dalam pergub ini justru berisiko memperburuk posisi perempuan, yang sering kali menjadi pihak paling rentan, di sinilah akan adanya bentuk superioritas posisi laki laki kepada perempuan," kata Farah dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (18/1/2025).
Bagi Farah, meskipun aturan tersebut bertujuan untuk menciptakan ketertiban administrasi, namun hal ini justru berpotensi melangkahi privasi individu dan menormalisasi praktik yang tidak wajar.
Lebih lanjut, anggota fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) ini menyinggung pula soal pernikahan yang berada di ranah Kantor Urusan Agama (KUA) sehingga seluruh aturan administrasinya sudah menjadi tupoksi disana.
"Tata kelola pernikahan ASN diatur melalui ketentuan pernikahan yang dicatat secara resmi di Kantor Urusan Agama dan catatan sipil. Menambah aturan tambahan yang mencampuri aspek privat pernikahan hanya akan menambah beban administratif juga melanggar hak privasi individu," papar Farah.
Menurut Farah, saat ini belum ada urgensi untuk menerbitkan Pergub tesebut, karena menurutnya, yang perlu diutamakan adalah soal kebijakan yang bersikap adil dan menjunjung nilai kemanuasiaan juga kesetaraanya
"Dirasa saat ini, Pergub tersebut belum ada urgensinya, langkah yang lebih bijak adalah memperkuat pencatatan sipil, memberikan edukasi, serta menyediakan konseling keluarga bagi ASN," kata dia.
"Kebijakan harus dirancang untuk tidak hanya tertib secara administratif, tetapi juga adil, manusiawi, dan melindungi semua pihak secara setara, lanjutnya.
Selain itu, ia sepakat, pemerintah daerah seharusnya memprioritaskan isu-isu terkait perempuan dan anak, yang aturan-aturannya perlu segera diperbarui. Salah satunya Perda Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak.
"Ketimbang membuat aturan yang diskriminatif terhadap perempuan, ada baiknya Pemprov mesti membuat aturan (Pergub atau Perda) tentang Perempuan dan Anak yang sudah lama tidak diperbarui. Pemerintah harus prioritaskan pembaruan regulasi yang langsung berdampak pada kesejahteraan masyarakat, terutama kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak," pungkasnya.