Sejak resmi terpilih menjadi presiden Indonesia pada Maret lalu, Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto telah melakukan kunjungan ke lebih dari 10 negara termasuk Singapura, Tiongkok, Jepang, Rusia, dan Australia.
Meskipun ia bepergian sebagai Menhan RI, tetapi Prabowo diperkenalkan sebagai pemimpin Indonesia yang baru dan bertemu dengan menteri dan presiden utama selama perjalanan tersebut.
Kegiatan mengesankan tersebut disorot oleh media Singapura, Straits Times dalam artikel berjudul "Prabowo has big plans
for Indonesia on the world stage" yang dikutip redaksi pada Jumat (1/10).
Artikel tersebut menjuluki Prabowo sebagai sosok presiden dengan fokus kuat pada kebijakan luar negeri, yang bertujuan untuk mengangkat kedudukan Indonesia di mata dunia.
Bahkan Prabowo dinilai sebagai presiden paket plus karena bisa menjalani peran yang biasa dilakukan oleh menteri luar negeri.
"Ketika negara tersebut memilih Bapak Prabowo Subianto sebagai presiden berikutnya, Indonesia tanpa sadar juga memilih menteri luar negeri de facto yang baru.
Sejak diumumkan menang 59 persen suara dari dua pesaingnya, Prabowo telah menegaskan bahwa kebijakan luar negeri akan menjadi fokus utama pemerintahannya.
Di kawasan Asia Tenggara, Prabowo telah melakukan kunjungan kerja ke Vietnam, Brunei Darussalam, Laos, Kamboja, Thailand, Malaysia, dan Filipina.
Prabowo juga mengunjungi Jepang dan bertemu Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida. Ia mendorong kerja sama keamanan dan ekonomi yang lebih dalam.
Hal ini terjadi hanya dua hari setelah menyatakan keinginan untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan Presiden Tiongkok, Xi Jinping.
Pendekatan Prabowo dalam urusan global tidak terbatas pada kunjungan diplomatik. Pada tanggal 26 April, The Economist menerbitkan sebuah artikel yang ditulis Menhan RI itu, yang menuduh Barat memiliki standar ganda dalam penanganan konflik Israel-Hamas dan menunjukkan bagaimana korban perang Ukraina tampaknya lebih dihargai daripada mereka yang berada di Gaza.
Kritik tajam ini dipandang sebagai pergeseran signifikan dari kebijakan luar negeri tradisional Indonesia yang “bebas-aktif”, di mana negara ini biasanya menghindari keberpihakan pada blok kekuatan global mana pun.
Sikapnya terhadap Gaza tetap teguh, dan pada bulan Juni Prabowo menjadi berita utama karena menghadiri konferensi kemanusiaan tingkat tinggi di Jalur Gaza.
Ia juga mengumumkan kesiapan Indonesia untuk menerima 1.000 pengungsi Palestina, menawarkan mereka tempat berlindung di pesantren-pesantren di Jawa Timur.
Peneliti senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura, Julia Lau menilai Prabowo akan memainkan peran langsung dalam kebijakan luar negeri dibandingkan dengan pendahulunya.
"Presiden terpilih secara pribadi lebih nyaman bertemu dengan mitra asing dan telah memiliki waktu satu dekade terakhir untuk menjalin hubungan dengan rekan-rekan menteri pertahanannya, tetapi juga memiliki pengalaman dan budaya asing seumur hidupnya, mulai dari saat ia masih sangat muda," ujarnya kepada Straits Time.
Pada bulan Juli dan Agustus, Prabowo melakukan perjalanan ke Prancis dan negara-negara lain di Eropa, Turki, dan Rusia, bertemu dengan para pemimpin negara-negara ini, termasuk Presiden Rusia Vladimir Putin, untuk membahas kerja sama bilateral.
Menurut seorang peneliti pascadoktoral di Universitas Aberystwyth di Wales, Ahmad Rizky Umar kunjungan semacam itu dipandang sebagai gaya kebijakan luar negeri yang lebih bersifat tatap muka.
"Ini kontras dengan pendekatan Jokowi yang lebih rendah hati, di mana ia menggunakan multilateralisme, lebih sedikit keterlibatan di tingkat presidensial dan delegasi kepada Menteri Luar Negeri Retno Marsudi," kata dia.