Image description
Image captions

Pakar kebijakan publik sekaligus ekonom dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mendesak aparat penegak hukum mesti turun tangan dalam mengusut kasus demurrage (denda) beras impor sebanyak 490 ribu ton beras di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dan Tanjung Perak, Surabaya, beberapa waktu lalu. 

Menurutnya, langkah penegakan hukum perlu dilakukan terhadap Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Badan Urusan Logistik (Bulog) dalam perkara ini. "Ketika kepala Bapanas dan Bulog enggan memberikan penjelasan yang lebih detail tentang isu ini, hal tersebut dapat menimbulkan kecurigaan atau indikasi adanya praktik-praktik kecurangan," kata Achmad di Jakarta, seperti dilansir   Inilah.com, Kamis (20/6/2024).

Achmad menekankan, transparansi mesti diterapkan dalam setiap instrumen pemerintahan, termasuk Bapanas dan Bulog. Jika informasi yang diberikan oleh kedua lembaga tersebut tidak jelas, bukan tidak mungkin akan menimbulkan berbagai persepsi.

"Oleh karena itu, penting untuk melakukan audit independen untuk mengetahui apakah ada penyimpangan atau tidak," ucapnya.

Ia mengatakan jika Bapanas dan Bulog terus bungkam dan tidak memberikan klarifikasi yang memadai, maka memang perlu aparat penegak hukum turun tangan untuk menyelidiki lebih lanjut. Keterlibatan penegak hukum, kata dia, dapat memastikan kasus ini diselesaikan secara transparan serta mencegah potensi kerugian negara yang lebih besar.

"Penyelidikan oleh aparat penegak hukum juga dapat memberikan rasa percaya kepada masyarakat bahwa pemerintah serius dalam menangani kasus ini dan tidak mentolerir adanya penyimpangan atau kecurangan," ujarnya.

"Keterbukaan dan akuntabilitas dari pihak-pihak terkait sangat diperlukan untuk mengatasi isu ini dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap pengelolaan beras di Indonesia," tutur Achmad, menambahkan.

Sebelumnya diberitakan, sekitar 490 ribu ton beras impor Bulog sempat tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Pelabuhan Tanjung Perak. Masalah ini memungkinkan munculnya biaya demurrage yang harus dibayar Bulog sekitar Rp350 miliar.

Timbulnya potensi demurrage ini diduga akibat perubahan kebijakan Bapanas yang mengharuskan impor menggunakan kontainer, padahal sebelumnya cukup memakai kapal besar.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, sebagian beras impor di Tanjung Priok sudah bisa keluar berkat bantuan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani saat kunjungan kerja ke pelabuhan. Kini barang sudah berada di gudang Bulog.

Persoalannya, denda yang harus dibayarkan Bulog tersebut bisa berdampak pada harga eceran beras, demi menutupi kelebihan pengeluaran. Artinya pemerintah harus memberi subsidi lagi ke Bulog. Sampai Rabu (12/6/2024), masih ada sekitar 200 kontainer beras tertahan di Tanjung Priok. Sementara di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya tercatat 1.000 kontainer. 

Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Badan Urusan Logistik (Bulog) harus bertanggung jawab atas kasus demurrage (denda) beras impor yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, dan Tanjung Perak, Surabaya. 

Menurutnya, masalahnya tidak bisa dianggap ringan lantaran publik membutuhkan transparansi pemerintah. “Isu demurrage beras Bulog yang membengkak memang merupakan masalah serius yang harus ditangani dengan cepat dan transparan,” kata Achmad di Jakarta kepada Inilah.com saat dihubungi Kamis (20/6/2024).

Achmad menjelaskan demurrage beras yang merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah ini menyebabkan pemborosan anggaran. Karenanya, ia meminta negara, khususnya Komisi IV DPR RI untuk memaksimalkan tugas dan kewajibannya.

"Komisi IV DPR memiliki peran penting dalam mengawasi dan memastikan bahwa Bapanas dan Bulog bertanggung jawab atas manajemen beras yang efektif dan efisien," ujarnya.

Sebelumnya, sekitar 490 ribu ton beras impor Bulog dikabarkan sempat tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, dan Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Masalah ini memungkinkan munculnya biaya demurrage yang harus dibayar Bulog sekitar Rp350 miliar.

Akibat kerugian ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka peluang mengusut dugaan terjadinya tindak pidana rasuah dalam penyaluran beras impor di Pelabuhan Tanjung Priok dan Pelabuhan Tanjung Perak.

Juru Bicara KPK Tessa Mahardika Sugiarto mengatakan, beban negara yang ditimbulkan akibat demurrage saat ini sedang menjadi perhatian komisi antirasuah. KPK mengultimatum supaya segera dilakukan tata kelola oleh pihak terkait, khususnya Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi.

"Menanggapi informasi terkait adanya biaya demurrage akibat tertahannya beras impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dan Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, kami sampaikan bahwa KPK terus mendorong reformasi tata kelola pelabuhan sebagai salah satu upaya pencegahan korupsi," ujar Tessa ketika dihubungi Inilah.com di Jakarta, Rabu (19/6/2024).

Baca Juga:

Komisi IV DPR Tuntut Tanggung Jawab Bapanas Kasus 'Demurrage' Rp350 Miliar Beras Impor

Tessa menjelaskan, reformasi tata kelola pelabuhan itu bertujuan untuk menyederhanakan proses bisnis dan tata kelola melalui layanan pelabuhan secara digital.  Sehingga waktu prosesnya efektif dan biayanya efisien. Melalui hal tersebut, KPK berharap dapat mengurangi biaya logistik sekaligus kepastian waktu layanan.

"Birokrasi pelayanan pelabuhan di Indonesia masih rumit dan panjang karena melibatkan unit-unit layanan dari banyak pemangku kepentingan, swasta dan pemerintah, yang tidak terintegrasi. Sehingga menimbulkan biaya logistik yang mahal serta waktu layanan yang tidak pasti," jelasnya melihat masalah yang terjadi saat ini.