Image description
Image captions

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mengkritik pernyataan Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW), Neta S Pane, soal diskriminasi perwira Polri lulusan Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana (SIPSS). Bambang menuturkan lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) dan SIPSS tak bisa disamakan.

"Ini pernyataan ngawur. Pendidikan di Akpol dilaksanakan 4 tahun, memang diperuntukkan untuk mencetak kader-kader pemimpin di Polri. Sementara rekrutmen perwira polisi dari sumber sarjana, semangatnya adalah memenuhi kebutuhan tugas fungsional di kepolisian. Pendidikan terkait bidang kepolisian pun cuma 7 bulan," kata Bambang kepada detikcom, Rabu (27/1/2021).

Lulusan Akpol dan SIPSS memang sama-sama akan berpangkat inspektur dua (ipda). Bedanya, lulusan Akpol diproyeksikan jadi perwira pemegang jabatan komando dan mengisi posisi-posisi strategis dan jabatan struktural Polri. Sementara itu, lulusan SIPSS akan menjadi perwira staf yang lebih banyak memegang jabatan fungsional dan akan ditempatkan di fungsi-fungsi pendukung Polri, seusai keahlian di bidang masing-masing.

 

Perwira lulusan Akpol menjalani pendidikan ilmu kepolisian sejak lulus SMA atau jenjang pendidikan setara lainnya. Lamanya pendidikan Akpol adalah 4 tahun atau sama dengan lama pendidikan sarjana (S-1).


"Jadi tak bisa dikatakan diskriminasi pada dua hal yang memiliki dasar berbeda," sambung Bambang.Sementara perwira lulusan SIPSS baru mengikuti kegiatan pendidikan ilmu kepolisian setelah berstatus sarjana bidang tertentu. Mereka dididik selama kurang lebih satu semester untuk melengkapi kebutuhan fungsional Polri.

Bambang kemudian menjelaskan perwira SIPSS direkrut untuk memenuhi kebutuhan fungsional Polri yang sifatnya di luar ilmu kepolisian. Contoh perwira SIPSS salah satunya dokter polisi.

"Alasan mendasar dari SIPSS atau Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana itu untuk memenuhi kebutuhan fungsional kepolisian terkait dengan keilmuan yang bersangkutan di bidang-bidang lain di luar ilmu kepolisian. Jadi tak bisa disamakan dengan alumni Akademi Kepolisian yang memang sejak awal dididik dan dicetak sebagai kader pimpinan Polri," tutur Bambang.


Sebelumnya, Neta S Pane menerbitkan rilis soal harapan terhadap Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang pagi ini dilantik sebagai Kapolri oleh Presiden Joko Widodo. Dalam tulisannya Neta membeberkan hal-hal yang dianggapnya sebagai bentuk diskriminasi di internal Polri.Jika Neta menyamakan perwira SIPSS dengan Akpol, menurut Bambang, akan terjadi ledakan perwira menengah. "Salah satu penyebab membengkaknya jumlah perwira menengah di kepolisian karena tidak ada sistem yang mengatur soal rekrutmen dan pendidikan perwira ini. Akibatnya, banyak kombes nganggur," ungkap Bambang.

"Para lulusan SIPSS diarahkan ke pendidikan Diklatpim I, II, dan III. Kebijakan diskriminatif itu dikeluarkan melalui Pengumuman Kapolri Nomor PENG/4/I/DIK.2.2/2021 tanggal 8 Januari 2021 tentang penyelenggaraan pendidikan SESPIMMA Angkatan ke-65 dan 66 T.A. 2021. Salah satu isi Poin nomor 3b, yaitu persyaratannya hanya untuk Perwira Lulusan Akpol dan SIP. Tentunya pengumuman ini sangat merugikan dan sangat diskriminatif bagi lulusan SIPSS," tutur Neta.

Neta menyampaikan, berdasarkan ST Kapolri Nomor ST/299/I/DIK.2.5./2020 tanggal 29 Januari 2020, pendidikan Diklatpim Tingkat I, terdapat syarat ketentuan usia anggota Polri minimal 47 tahun. Neta memandang hal ini sangat diskriminatif bagi lulusan SIPSS.

"Karena untuk di level AKP, rata-rata usia lulusan personel Polri dari SIPSS berada pada usia 32 tahun. Artinya, jenjang karirnya akan tertunda sangat lama, sampai usia 47 tahun," terang dia.