Pendiri KOPEL Indonesia, Syamsuddin Alimsyah, menilai ketegasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam membuat kebijakan tidak tepat sasaran. Pasalnya, mantan Wali Kota Solo ini dinilai lembek dalam menangani pandemi Covid-19 di Tanah Air tapi justru tegas menaikan iuran BPJS Kesehatan.
Syamsuddin menegaskan, keputusan menaikan iuran BPJS Kesehatan tidak tepat di tengah pandemi Covid-19. Sebab, mayoritas masyarakat mengalami penurunan daya beli akibat krisis ekonomi. Keputusan menaikan iuran itu justru melukai perasaan masyarakat.
“Kalau kita membaca perilaku pemerintah dalam hal kebijakan justru selalu berubah-ubah tanpa ada aspirasi dari masyarakat, yang awalnya tegas bisa tiba-tiba longgar mislanya PSBB, bahkan ada yang bilang PSBB adalah peraturan suka berubah ubah. Tapi itu tidak berlaku khusus untuk kebaikan BPJS Kesehatan. Bahkan sebaliknya pemerintah tetap kekeh untuk segera menaikkan kembali,” kata Syamsuddin dalam diskusi daring di Jakarta, Rabu (20/5).
Syamsuddin menyebut ambisi Joko Widodo menaikan iuran BPJS Kesehatan sudah terjadi sejak 2019 silam melalui Perpres No.75/2019. Namun, Perpres itu kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) pada 27 Februari 2020.
“Ambisi untuk menaikan sebenarnya sudah sejak tahun 2019 dan kemudian ditetapkan tapi dibatalkan oleh Mahkamah Agung,” ucap dia.
Di sisi lain, pemerintah juga tak mau mendengarkan aspirasi masyarakat dan wakil rakyat di Senayan terkait kenaikan iuran tersebut. Dia menyebut mayoritas masyarakat menolak iuran BPJS Kesehatan dinaikan, tapi pemerintah tetap tak mendengarkan.
“Kalau kita lihat aspirasi masyarakat, justru menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Bahkan di DPR sendiri ada dua kali terjadi rapat yang khusus membahas kenaikan tarif ini,” ucap dia.
Syamsudin mengatakan, pada Bulan Desember 2019 DPR melalui rapat dengar pendapat (RDP) dengan Menteri Kesehatan maupun BPJS Kesehatan telah menyampaikan penolakan terhadap kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Kala itu DPR meminta pemerintah mencari solusi lain untuk menutup defisit BPJS Kesehatan tanpa harus iuran.
“Rekomendasi itu menarik tapi tidak dijalankan oleh BPJS Kesehatan,” ucap Syamsuddin menceritakan.
Lalu, pada Januari 2020 DPR kembali menggelar RDP dengan Menteri Kesehatan. Rapat itu berlangsung 8 jam, lantaran DPR menolak dengan tegas kenaikan iuran.
“Lalu rapat di bulan Januari, rapat itu lagi lagi berlangsung sampai 8 jam. Itu mengalahkan rapat paripurna persetujuan untuk RUU KPK yang hanya 25 menit. Ini sampai 8 jam tapi tidak bisa menghasilkan sebuah kesimpulan yang bisa menyejukkan masyarakat. Itu yang terjadi pada lembaga sekaliber DPR yang punya kewenangan pengawasan terhadap kebijakan publik,” ucap dia.