Pangeran Diponegoro pernah terluka dalam pertempuran Perang Jawa. Konon, luka itu didapat akibat kekebalan dirinya hilang usai bersenang-senang dengan perempuan Tionghoa yang menjadi tawanan pasukan Pangeran Diponegoro.
Dikisahkan dalam buku 'Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1825' yang ditulis Peter Carey, Pangeran Diponegoro menyesalkan perilaku bersenang-senang ini. Sebab, dia sempat tidur bersama perempuan tersebut.
Perempuan itu dikisahkan memang sengaja ditahan oleh pasukan Pangeran Diponegoro. Dia diberdayakan sebagai juru pijat sebelum pertempuran Growok yang dahsyat di pertengahan Oktober 1826.
Hal ini yang disebut Pangeran Diponegoro sebagai biang keladi kekalahan pasukannya. Apalagi di peperangan itu ia mendapat dua luka yang juga disebut menandakan kekuatan spiritualnya telah hilang sementara.
Pangeran Diponegoro juga mengabaikan adanya sosok perempuan ketika saudara iparnya Sosrodilogo mengalami kekalahan.
Pada Januari 1828, saudara ipar Pangeran Diponegoro ini mengabaikan perintah dan larangan untuk tidak berhubungan seks dengan perempuan Tionghoa.
Pangeran Diponegoro kala itu menganggap Sosrodilogo tertimpa sial karena memperkosa seorang perempuan peranakan di Lasem, setelah menduduki kota di pantai utara itu pada 31 Desember 1827.
Hal ini pula yang membuat Pangeran Diponegoro meminta pada tawanan perang Belanda untuk bisa berbicara dalam bahasa Jawa Kromo, bukan bahasa Melayu, dan wajib berbusana gaya Jawa bukan gaya Eropa.
Sang pangeran juga wajib mempertimbangkan para tawanan untuk masuk Islam, termasuk pada kaum etnis Tionghoa yang memihak perjuangannya.
Proses menjadi seorang muslim sangat sederhana mulai memotong kucir rambut, disunat, dan mengucapkan dua kalimat syahadat.