Image description
Image captions

OLEH: HERSUBENO ARIEF

SETELAH sejumlah lembaga survei mengumumkan hasil quick count,  publik banyak yang bertanya “Prabowo itu sebenarnya menang atau kalah?”

Pertanyaan itu bukan hanya datang dari satu dua orang, namun jumlahnya jutaan.

Ya benar jutaan. Ini bukan hyperbola, melebih-lebihkan. Tapi itulah fakta sebenarnya. Publik bisa merasakan Prabowo menang, tapi mereka bingung, kok  lembaga survei kompak menyatakan Jokowi yang menang.

Benar, quick count hampir semua lembaga survei menyatakan Jokowi menang. Dia unggul atas Prabowo dengan selisih antara 7-9 persen. Sebaliknya Prabowo mengklaim berdasarkan real count internal,  dia unggul dengan perolehan suara 62 persen.

Siapa yang benar?  Melihat hitungan internal tim Prabowo maupun quick count kita bisa mengambil kesimpulan Prabowo menang. Sampai KPU selesai menyelesaikan perhitungan suaranya, kita bisa dengan tegas menyatakan “secara de facto Prabowo menang.”

Mari kita cermati data. Bila menggunakan data perhitungan internal Paslon 02, sudah tidak diragukan lagi Prabowo dinyatakan menang.
Bagaimana dengan quick count? Hasilnya juga sama saja. Kendati mayoritas lembaga survei merupakan pendukung Paslon 01, Prabowo menang dan Jokowi kalah.

Semua lembaga survei menyatakan Jokowi menang dengan margin antara 7-9 persen. Tidak perlu diperdebatkan. Secara ilmiah selama ini quick count terbukti akurat. Margin error (tingkat kesalahannya) hanya plus minus 1 persen. Tapi mereka hanya memotret hasil akhir. Hasil pada saat pilpres. Mereka tidak melihat proses sebelumnya. Proses pemilu yang sangat curang.

Sebagai konsultan sekaligus surveyor, quick count adalah salah satu bagian terpenting dari instrumen kecurangan itu. Tugas mereka memberi  legitimasi atas kecurangan, sekaligus mematahkan perlawanan para pendukung Prabowo.

Dengan adanya quick count  kecurangan mendapat legitimasi ilmiah, karena selama ini metode tersebut memang terbukti akurat. Moral para pendukung Prabowo langsung runtuh. 

Mereka tidak semangat lagi mengawasi kecurangan, apalagi melaporkan. Pertempuran sudah selesai. Mereka kalah.

Pada saat itulah skenario kecurangan tahap akhir  bisa berlangsung secara sempurna. Hasil penghitungan suara bisa disesuaikan dengan quick count. Syukur kalau angkanya bisa digelembungkan sampai setidaknya mendekati angka publikasi survei sebelumnya, Jokowi unggul di atas 25 persen.

Klaim “kemenangan” Jokowi dengan selisih hanya 7-9 persen sesungguhnya adalah kekalahan awal Jokowi. Dengan berbagai kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif ternyata mereka hanya bisa mendongkrak angkanya sebesar itu.

Hal itulah menjelaskan mengapa wajah Jokowi dan para petinggi TKN terlihat sangat murung dan tegang. Kalimat Jusuf Kalla “ yang penting Bapak sudah menang,” tetap tidak bisa mengibur dan menghalau kegalauan Jokowi.

Mereka tahu, bahwa mereka sudah kalah. Secara de facto rakyat sudah tidak menghendaki lagi Jokowi. Belum lagi fakta bahwa Jokowi hanya menang di beberapa provinsi. 

Sekali lagi kalau kita gunakan data quick count, Jokowi hanya menang kurang dari separuh jumlah propinsi. Ada yang menyebut 16, 15, bahkan hanya 13 provinsi. 

Yang lebih parah Indobarometer menyebut di Aceh Jokowi hanya mendapat 17, 12 persen dan di Sumatera Barat hanya 9,12 persen. Jokowi hanya kuat di Jateng, Jatim, Bali, NTT, dan beberapa wilayah di Indonesia Timur, di luar Sulawesi dan sebagian Kalimantan.

Data-data ini menunjukkan pemilih di lebih separuh dari provinsi di Indonesia tidak lagi menghendaki Jokowi. Kalau dia tetap dipaksakan menjadi pemenang, maka dia akan menjadi presiden yang tidak punya basis legitimasi. Padahal  azas utama dalam negara demokrasi adalah legitimasi secara politik.

Khusus untuk Indonesia,  karena latar belakang penduduknya secara etnis,  dan agama sangat beragam, basis representasi sangat-sangat diperlukan. Tidak cukup hanya keunggulan suara secara akumulatif.
Jangan sampai muncul anggapan Jokowi Presiden hanya untuk rakyat Jateng, Jatim —di luar Madura— dan wilayah dengan mayoritas penduduk non muslim.

Jangan sampai muncul gerakan He’s not my president! Jokowi bukan presiden saya, seperti yang pernah terjadi di AS, bahkan Singapura. Ini sangat berbahaya. Jangan sampai terjadi,  harus dicegah.

Karena itu sejak awal para Bapak Pendiri Bangsa, founding fathers sangat mementingkan azas keterwakilan etnis, agama dan golongan. Hal itu tercermin dari bunyi UUD 45. Prinsip pemenang mengambil semua the winner take all sangat berbahaya. Bisa mengancam persatuan dan kesatuan bangsa yang dengan susah payah kita bangun.

Kecurangan Yang Terencana

Kalau kita mau melihat dengan kacamata yang jernih. Mengesampingkan kepentingan pribadi dan kelompok. Kita pasti bisa melihat dengan kasat mata, pemilu kali ini sejak awal sudah didesain secara curang.

Apapun caranya, Jokowi harus menang. Kelangsungan jabatan Jokowi sangat penting untuk menjaga kepentingan bisnis dan politik para oligarki.

Kelompok oligarki alias deep state, negara dalam negara inilah yang selama ini mengendalikan Jokowi. Mereka sangat khawatir bila Prabowo menjadi presiden, semua kong-kalikong, hanky panky yang selama ini berjalan mulus  di balik layar,  dibongkar habis.

Karena itu skenario yang dirancang sejak awal  sudah sangat jelas : Prabowo tidak boleh menjadi presiden!

Secara garis besar skenario mengalahkan Prabowo terbagi dua:

Pertama, pembunuhan karakter terhadap Prabowo. Isu lama didaur ulang. Mulai dari pelanggaran HAM, penculikan aktivis, pemarah dll. Yang terbaru adalah isu Prabowo didukung oleh kelompok Islam radikal dan akan mendirikan khilafah bila terpilih menjadi presiden.

Isu daur ulang dengan mudah dimentahkan. Namun isu Islam radikal dan khilafah tampaknya cukup berhasil menakut-nakuti non muslim, Islam moderat dan abangan.

Data exit polls menunjukkan kelompok non muslim dan mayoritas etnis Cina,  suaranya solid mendukung Jokowi. Sedang muslim moderat, termasuk NU suaranya juga solid ke Jokowi. Untuk kalangan NU,  selain faktor Ma’ruf Amin, isu khilafah dan larangan tahlil jika Prabowo terpilih cukup efektif. 

Kedua, kecurangan. Faktor ini sudah dirancang jauh hari sebelumnya. Mulai dari DPT invalid sebanyak 31 juta dan kemudian menyusut menjadi 17,5 juta,  sampai pengerahan aparat keamanan, birokrasi, penggelontoran dana bansos, dan dana-dana CSR dari BUMN.
Para pengusaha juga dikerahkan untuk mengarahkan dan mengintimidasi para karyawannya agar memilih Jokowi.

Kecurangan ini mendapat sentuhan akhir pada saat menjelang, pada hari pemilihan, dan pada proses perhitungan suara. 

Pencoblosan ratusan ribu surat suara atas nama paslon 01 di Malaysia, banyak pemilih di  dalam dan luar negeri yang tidak bisa memilih, pencoblosan surat suara oleh petugas KPPS, mengubah form C1, “kesalahan” input data di KPU, kertas suara dibawa lari, kertas suara dibakar dan berbagai modus lainnya,  sampai hilangnya TPS di daerah yang diidentifikasi menjadi pendukung 02.

Berdasarkan laporan dari petugasnya, Bawaslu menyatakan ada ribuan TPS yang petugasnya tidak netral. Di medsos video petugas TPS mencoblos sendiri kertas suara atas nama Paslon 01 bertebaran sangat banyak. Begitu juga dengan pengubahan hasil suara C1 sebagai dokumen resmi penghitungan suara.

Skenario curang inilah yang menjelaskan mengapa Jokowi wajahnya terlihat tegang dan murung ketika menyaksikan hasil quick count.  Jokowi secara de facto sudah kalah. Tinggal menunggu secara de jure.

Dia bahkan sudah jauh-jauh hari tahu akan kalah ketika menyaksikan kampanyenya selalu sepi. Para pendukungnya susah payah harus mengumpulkan massa. Kalau toh berhasil mengumpulkan massa, banyak diantara mereka yang berani terang-terangkan mengacungkan salam dua jari. Salam kemenangan Prabowo!

Kita tinggal menunggu hasil uji nyali KPU. Apakah hati nurani mereka berpihak kepada rasa kebenaran masyarakat pemilih, atau tetap mengabdi kepada kepentingan penguasa? []

Penulis adalah Pemerhati Ruang Publik. (*)