Sejak awal penulis sudah meragukan keberadaan sebuah lembaga bernama BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) ini. Karena apa? Karena penulis melihat ada tumpang tindih dan ketidak jelasan fungsi dan keberadaan lembaga BPIP ini.
Pertama, dari namanya saja sudah kontroversial yaitu menyebutkan Pancasila sebagai ideologi. Sedangkan Pancasila itu adalah falsafah kehidupan bangsa Indonesia yang diambil dari kristalisasi serta kumpulan norma, nilai kebaikan yang hidup berkembang dalam masyarakat Indonesia. Ditambah lagi, kalau kita berbicara secara hukum positif, bahwa tidak ada satu kalimatpun atau satu pasalpun yang menyatakan kata “Pancasila sebagai ideologi negara”.
Yang ada itu adalah sesuai pasal 29 (ayat) 1 yang berbunyi, “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi sebenarnya kalau berbicara dasar negara Indonesia itu apa secara konstitusional adalah sesuai yang berbunyi dalam pasal 29 (ayat) 1 UUD 1945, “Negara berdasarkan kepada KeTuhanan Yang Maha Esa”.
Kedua, secara kelembagaan negara kita sebenarnya sudah mempunyai sebuah lembaga yang sudah sangat kompeten, teruji dan matang kalau ingin berbicara Pancasila. Yaitu Lemhannas RI yang didirikan presiden Soekarno. Jadi sangat aneh, dengan kehadiran BPIP yang sampai sekarang kitapun sendiri tak tahu apa tupoksinya. Yang kita tahu hanyalah bahwa gaji nya sangat besar fantastis, yang sebelumnya ini ditinggal mundur oleh ketuanya Yudi Latief.
Ketiga, sudah terlalu banyak organ, lembaga disekitaran Presiden itu. Secara struktural sudah ada sekretariat negara. Lalu ada lagi namanya KSP (kepala staf presiden). Lalu ada lagi Wantimpres. Lalu ada lagi namanya staf khusus Presiden. Nah ditambah lagi dengan BPIP ini. Pertanyaannya, apa sih kerjaan BPIP ini? Apa tidak cukup Lemhannas RI yang lahir berdasarkan Undang-Undang? Lalu apa standarisasi orang-orang yang duduk di BPIP ini tentang pemahamannya terhadap Pancasila?
Awalnya penulis masih berpikiran positif, bahwa bisa jadi BPIP ini dibentuk untuk mengawal Presiden serta para bawahannya agar menjalankan pemerintahan sesuai dengan Pancasila. Seperti contoh;
Dalam hal penegakan hukum sudah sesuai dengan Pancasila belum? Dalam menggunakan aset dan uang negara sudah sesuai Pancasila belum? Dalam hal ekonomi dan kesejahteraan rakyat sudah sesuai Pancasila belum? Dalam mengelola sumber kekayaan alam negara sudah sesuai apa belum? Atau yang paling sakral, negara dalam memainkan peran sosial pemerintahannya sudah sesuai Pancasila atau belum?
Dan ternyata, keraguan dari awal penulis terjawab sudah dengan blunder pernyataan kepala BPIP hari ini yang mengatakan bahwa, “Musuh terbesar Pancasila itu adalah agama”.
Sontak pernyataan kepala BPIP Yudian Wahyudi yang juga rektor UIN Sunan Kalijaga ini memantik kemarahan masyarakat berbagai kalangan, khususnya ummat Islam yang mayoritas dinegeri ini. MUI langsung mengeluarkan pernyataan keras agar Presiden mencopot ketua BPIP. Fraksi PKS pun melalui wakil ketuanya Dr Almuzzamil juga mengeluarkan pernyataan keras dan tegas. Bahkan Fadli Zon wakil ketua Gerindra meminta BPIP dibubarkan saja.
Pernyataan blunder seorang kepala lembaga terhormat ini telah memantik kemarahan masyarakat. Sebagai alumni Lemhannas atau mungkin siapa saja semasa sekolah dulu sempat mengenyam pelajaran P4 atau PMP pasti akan merasakan sebuah “distorsi” pikiran yang radikal atas pernyataan yang menurut penulis kurang ajar itu.
Pernyataan kepala BPIP tersebut langsung mengingatkan kita kembali kepada prinsip dan doktrin dasar komunis Mao Tse Tung yang mengatakan bahwa, “Agama itu adalah candu”.
Kalau yang menyatakan itu masyarakat awam, kita mungkin hanya cengengesan dan berkata, “Ahh paling dia itu anak keturunan PKI, yang pasti anti Islam”. Tapi bagaimana kalau yang mengeluarkan pernyataan itu adalah kepala BPIP yang digaji besar, dan dari sebuah lembaga yang dibuat sakral dan sakti atau serba paling hebat dan palng tahu tentang Pancasila?
Ada beberapa hal yang mesti kita ingatkan bersama, dampak dari pernyataan ketua BPIP itu.
1. Kenapa yang jadi kepala BPIP itu justru adalah orang yang tak paham dengan Pancasila? Anehkan? Karena kalau kita menterjemahkan maksud komentar kepala BPIP itu, bahwa kebencian terhadap agama, selalu berupaya menjauhkan agama dari kehidupan bernegara, atau parahnya lagi membuat agama adalah sebagai musuh dan ancaman negara itu adalah murni dan konkrit doktrin ala komunis. Awalnya mungkin bertahap bagaimana menjauhkan masyarakat dari agama dengan isu tuduhan radikalisme, dilarang pakai symbol agama, kurikulum pendidikan diganti nilai sekulerisme (memisahkan agama dengan kehidupan), kemudian baru pada titik tertentu doktrin komunis ini bermuara pada sikap anti Tuhan dan benci kepada agama.
2. Pernyataan kepala BPIP yang baru saja dilantik Presiden, bisa dianggap representasi dari pikiran dan ideologi pemerintahan hari ini. Secara lugas, tentu kelompok ini pasti tidak akan mengakui hal ini. Tetapi secara fakta yang kita rasakan saat ini; pengelolaan negara hari ini semakin jauh dari nilai spritualitas keagamaan. Saat ini semakin langka dan hambar kita menemukan bahasa-bahasa keagamaan, nilai spritualitas agama. Padahal bunyi dari sila pertama dari Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang artiny, ini murni bahasa spritual keagamaan dimana negara ini tidak boleh mengabaikan nilai-nilai dasar Ketuhanan yang bersumberkan kepada agama. Tapi fakta yang terjadi, ada upaya sistematis mau menjadikan aura keagamaan itu seolah sesuatu yang menakutkan, mengerikan, dan kalau seorang nasionalis itu mesti tidak agamais. Atau sebaliknya, kalau orang yang agamais itu di cap pasti tidak nasionalis alias Radikal.
3. Sebenarnya secara kasat mata, kita sudah dapat melihat bagaimana secara kultural dan ruh pengelolaan pemerintahan, nilai dasar dan doktrin komunisme itu sudah begitu dalam masuk kedalam darah pengelolaan pemerintahan hari ini. Apakah ini secara sadar atau tidak sadar, mari kita analisa bersama.
Pertama, kita dapat melihat bagaimana pemerintah hari ini seolah merepresentasikan dirinya itu adalah negara. Jadi siapa yang bertentangan dengan kepentingan kekuasaannya akan dianggap musuh negara. Padahal Indonesia ini adalah negara demokrasi bukan negara otoriter.
Kedua, menganggap presiden itu adalah symbol negara. Dan kalau ada yang mengkritik Presiden akan dianggap menyerang symbol negara. Padahal MK telah menghapuskan pasal otoriter ala kolonial ini dalam KUHP. Namun faktanya, banyak rakyat kita yang dipenjara tanpa rasa keadilan.
Dan presiden saat ini begitu dikultuskan seolah tidak terpisah dengan negara. Nah pola menganggap penguasa itu adalah negara, presiden itu adalah negara, semua itu jelas pola yang berlaku di negara komunis. Jadi jangan heran, kalau kita hari ini merasakan bagaiamana sikap otoritarian ini semakin dahsyat namun dibungkus oleh “casing” seolah merakyat. Buktinya, pemerintah hari ini begitu anti kritik dan doyan memenjarakan rakyatnya menggunakan pasal karet (subjective) dari UU ITE.
Ketiga, sejak negara ini berdiri sekarang lah kembali tahap kedua kita merasakan bagaimana pemerintah begitu agresif mengacak-ngacak kehidupan beragama rakyatnya sendiri. Kalau dulu pertama kali era Soekarno, yang memenjarakan ulama kharismatik Buya Hamka, membubarkan Partai Islam Masyumi dan HMI. Soekarno dulu juga sangat agresif terhadap siapa saja yang menentang ajaran Nasakom. Dan ajaran ini murni infiltrasi PKI ketika itu yang puncaknya adalah pemberontakan G 30 S PKI yang berhasil ditumpas TNI bersama rakyat.
Hari ini kita merasakan juga, bagaiamana Pancasila juga digunakan hanya sebagai “alat gebuk” kepada mereka yang bersebrangan pada penguasa.
BPIP yang kita harapkan dapat mengawal implementasi nilai Pancasila kepada Presiden dan bawahannya, justru dijadikan untuk menyerang agama dan masyatakat.
Seharusnya BPIP ini aktif dan agresif ketika terjadi mega korupsi Jiwasraya, Bumi Putera dan Asabri yang telah merampok uang rakyat trilyunan rupiah. Seharusnya BPIP menegur aparat penegak hukum yang sampai saat ini tidak mampu menemukan hanya seorang Hasin Masiku. Seharusnya BPIP ini aktif menasehati, menegur, para menteri yang kerjanya tak jelas seperti membuat hutang negara yang semakin gila, atau mengkritisi ketimpangan ekonomi, dan kinerja para politisi yang banyak menghambur-hamburkan uang rakyat.
Bukan malah kasak-kusuk menyerang agama. Bukan malah mengeluarkan pernyataan yang membuat gaduh dan kisruh serta berbau adu domba menyebar kebencian. Akhirnya masyarakat jadi tahu bahwa, BPIP hanyalah lembaga symbolitas semata yang notabonenya tidak memahami Pancasila. Kan gila dan parah kalau seperti ini.
Dan sekarang, aura tidak ramah terhadap Islam ini juga kita rasakan kembali. Masalah cadar, celana cingkrang dikaitkan dengan radikalisme. Para menteri dan pejabat lainnya “doyan” mengeluarkan pernyataan nyeleneh terhadap agama Islam. Tak terhitung ulama dan rakyat yang masuk penjara, serta perlakuan diskriminatif lainnya terhadap Islam. Sampai yang tertanam didalam benak publik hari ini itu ; kalau mau jadi pejabat negara di Indonesia, mesti anti dan jauh dari agama. Mesti berani komentar yang berbau pertentangan terhadap agama.
Dan kita perhatikan, Presiden hari ini dilingkari oleh tipikal pejabat seperti ini. Bahkan yang kita sayang lagi, seorang wakil presiden yang notabonenya adalah Kiyai, ketua MUI, ulama, tapi seolah bisu ketika banyak sekali perlakuan dan pernyataan yang menyudutkan agama Islam.
Keempat, secara terang-terangan banyak partai politik di Indonesia yang melakukan kunjungan kerja ke partai komunis China. Padahal, komunisme itu haram hukumnya di Indonesia sesuai dengan TAP/MPR/XXVI/Tahun 1966. Dan UU nomor 27 Tahun 1999. Jadi jangan heran kalau pola komunisme, cara main kayu, halalkan segala cara untuk ambisi politik semakin marak dinegeri ini.Para politisi kita hari ini banyak yang tidak bisa lagi membedakan mana yang halal, haram, semua dihantam. Mana yang oppurtunis dan mana yang nasionalis semakin tak jelas.
4. Style ciri khas ala komunisme itu; jago adu domba, raja fitnah (hoax), ahli propaganda, jago bolak balik fakta, serta mahestro dalam tipu daya.
Sekarang kita sangat merasakan bagaimana sesama anak bangsa hari ini terpecah belah begitu tajam dan dalam. Persiteruan antara Cebong dan Kampret berlanjut menjadi Kadrun Vs Kodrun. Masyarakat antar agama diadu domba dengan sentimen agama. Para non muslim radikal digosok-gosok, di doktrin, di provokasi agar bersama sama secara tak sadar jadi alat (agrn) yang setiap saat membenci Islam dan menyerang siapa saja yang berpihak pada Islam. Lihatlah mereka dimanapun berada. Para kelompok non-muslim radikal ini aktif mempropagandakan isu basi radikalisme, intoleransi, Pancasila yang seolah hanya mereka yang baik dan Islam itu jahat.
Para pendukung Ahok yang militan, dimanfaatkan dan selalu dihasud dan diperalat untuk menyerang para tokoh Islam. Mereka ini sasaran empuk untuk di bakar dan digunakan (peralat) untuk menyerang apa saja berbau dan menjadi symbol Islam.
Begitu juga secara internal Islam. Juga di adu domba ala Abu Janda. Bagi siapa yang mau caci maki Islam akan diberikan fasilitas dan dijamin tidak tersentuh hukum. Lihat Ade Armando, Abu Janda, Dewi Tanjung, dan Sukmawati yang sudah beberapa kali dilaporkan ke Polisi tapi tak pernah digubris. Mereka seolah kebal hukum dan dilindungi. Tapi lihat ketika yang diserang itu penguasa oleh rakyat biasa, langsung di penjarakan.
5. Ciri komunis selanjutnya adalah ; akan selalu menjadikan agama sebagai muara kebencian dan fitnah. Intinya adalah bagaiamana pada akhirnya nanti masyarakat takut dan alergi dengan agamanya sendiri. Dan meninggalkan segala bentuk aturan agamanya sendiri.
Dan cara menyudutkan agama ini sedemikian rupa adalah “orgasme” para penganut paham komunis. Kepuasan yang tak terhingga baginya kalau sudah bisa mencaci maki agama dan symbolnya. Mencaci maki dan memperolok/olok agama khususnya Islam bagaikan sebuah prestasi tertinggi bagi mereka. Dan cara ini juga adalah cara paling efektif untuk membungkam para kelompok agamais, agar segala kebusukan pemerintahannya tertutupi.
6. Pernyataan ketua BPIP ini akhirnya membuka tabir labirin kepura-puraan siapa sebenarnya rezim hari ini.
Mereka yang teriak Pancasila, justru merekalah yang mengangkangi Pancasila. Mereka yang teriak NKRI, ternyata bahagian kelompok mereka yang ingin merdeka di Papua. Mereka yang selama ini ngaku paling toleransi, ternyata justru merekalah yang intoleransi, rasis, dan penuh kedengkian terhadap cara berpakaian dan beribadah ummat Islam. Pancasila dijadikan mereka sebagai “alat pemukul” bagi kelompok yang bersebrangan dengan pemerintah. Dan inilah yang penulis maksud dengan Pancasila cita rasa komunis.
Untuk itu pada kesempatan ini penulis perlu menyampaikan bahwa;
1. Meminta dengan segera kepada Presiden atas nama rakyat yang beragama serta menjunjung tinggi nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, agar membubarkan BPIP yang tidak ada manfaatnya terhadap negeri ini.
2. Tindak tegas ketua BPIP atas pasal penistaan terhadap agama. Karena secara konseptual dan nilai, tidak ada pertentangan antara Pancasila dan Agama. Dan masalah ini sudah tuntas di bahas oleh para pendiri bangsa ini dimasa awal kemerdekaan. Jangan dicongkel-congkel lagi dengan berbagai alibi yang tujuannya hanyalah untuk mengadu domba sesama anak bangsa.
3. Meminta TNI untuk tampil kedepan bersama rakyat untuk “melawan” penyebaran dan paparan virus komunisme yang sudah memasuki sendi kehidupan bernegara kita hari ini. Hanya TNI institusi yang paling dipercaya rakyat hari ini. Sebuah institusi yang benar-benar setia kepada konstitusi UUD 1945 dan Pancasila secara konsekwen. Dan TNI adalah tulang punggung negara yang diharapkan rakyat dapat kembali menumpas penyebaran pemikiran komunisne gaya baru hari ini.
4. Meminta seluruh masyarakat untuk rapatkan barisan, bersatu padu bahu membahu menjaga persatuan dan kesatuan sesama anak bangsa.
Jangan mudah terprovokasi para antek komunis yang selalu menggunakan isu sentimen SARA untuk mrngadu domba antar sesama kita. Ingat, mereka hanyalah para anak bangsa yang tak sadar jadi “proxy” kekuatan global untuk memecah belah kita dari dalam.
Kita semua sudah sepakat bahwa Pancasila sudah final sebagai rumusan dan falsafah negara kita. Kita semua sudah sepakat akan slogan NKRI harga mati dibawah payung UUD 1945. Kita semua adalah saudara satu bangsa dan negara. Jadi jangan mau di hasud dan diadu domba dengan isu isu murahan ini lagi.
Jangan mau di benturkan lagi kehidupan kita atas nama agama. Padahal itu semua tidak lebih trik para anak PKI dan pembenci agama (liberalis-sekuler-Syiah) untuk memecah belah kita semua. Mayarakat Indonesia itu sejatinya adalah masyarakat yang ramah, toleransi, dan senang bantu membantu. Bukan saling caci dan membenci.
Dan semoga, dengan kejadian blunder statemen ketua BPIP itu, membuka mata hati dan pikiran kita. Siapa sebenarnya atau kelompok mana sebenarnya yang menjadi parasit dinegeri yang kita cintai ini. Mari kita jaga Indonesia dengan jiwa dan raga kita. Merdeka !
Jakarta, 13 Februari 2020